Musafir Yang Malang Puisi Renungan
Sebuah puisi renungan tentang lika-liku hidup
1 min read
![]() |
Puisi |
Musafir Yang Malang Puisi Renungan
Musafir dunia berkelana menuju ujung masa. Jatuh tersungkur pada jalan yang terjal tidaklah mengapa. Berusaha merangkak setapak demi setapak bersama tubuh yang sudah lunglai penuh bilur-bilur luka.
Luka raga, luka jiwa di setiap hela nafas yang sudah ter-hengah hengah. Tak ada yang perduli dan tak ada yang mau perduli. Hari demi hari berganti masa demi masa telah di lalui. Namun terjalnya jalan yang ia lalui tak pernah jua berubah.
Musafir yang malang tak ada gubuk untuk berlindung dari badai yang menerpa di perjalanan. Tak ada atap untuk berteduh dari panas yang menyengat. Ia hanya bertahan dan bertumpu pada kedua kakinya yang sudah lunglai menuju titik harapan.
Jalan terjal yang ia lalui bukanlah suatu pilihan. Namun takdir yang menginginkan, supaya ia tahu agar dia sadar tidak ada sebaik-baiknya pertolongan selain perlindungan sang Pemilik jiwa.
Sering kali air matanya jatuh di perjalanan menahan sakit dan pedihnya kenyataan. Tiada teman untuk berkawan tiada sahabat untuk bergenggam erat. Hanya doa yang ia bisikan dalam sepi yang melilit. Pada tiap masalah yang menghimpit.
Musafir yang malang tertatih melangkah seorang diri mencari jalan terang. Berharap terdapat pelangi indah yang membentang kelak di akhir petang. Sampai di ujung masa hingga tiba waktu, untuk dia di panggil pulang.
Post a Comment